Orang-orang jaman 201x sepertinya sedang diasyikkan dengan segala kemudahan berkomunikasi. Dalam satu handphone saja, setidaknya ada 3 aplikasi chating yang terpampang dilayarnya. Whatsapp, BBM, Line anak muda manapun pasti punya itu.

Flashback. Jaman saya kuliah, belum ada yang namanya Whatsapp, Line, BBM itu. Nama BBM & Whatsapp pun baru muncul disaat saya sudah mulai ancang-ancang untuk mengakhiri perkuliahan saya. Untuk saling bisa terhubung dengan teman kuliah, saya masih menggunakan media sms dan telepone di HP. Setiap bulan saya harus menyisihkan uang untuk beli pulsa agar bisa sms itu.

Sekarang, dengan banyaknya akses komunikasi mungkin sudah tidak ada lagi yang memakai layanan sms dan telepon. Pertama karena lebih irit chating, kedua pada aplikasi tersebut terdapat layanan telepon dan gratis (hanya pakai paket data).

Kelebihan lain dengan aplikasi tersebut ialah kita bisa mengirim sebanyak apapun kalimat tanpa kena charges per “enter”. Bayangkan jika kita masih menggunakan sms, bisa tekor pulsa kita. Kemudian banyaknya emoticon yang lucu dan ekspresif yang bisa dikirimkan contohnya jika kita males menjawab. Lalu ada layanan voice yang bisa kita rekam lalu dikirimkan, biasanya ini dipakai oleh mereka yang sedang sibuk dan tidak bisa memegang hp terlalu lama, ataupun orang yang males mengetik. Adapula layanan Video call yang bisa kita gunakan jika kita pengen bicara dengan bertatap mata.

Namun dari kesemua kelebihan itu, adapula kelemahan yang timbul dari komunikasi antar kabel ini. Yang paling kentara adalah kesalahpahaman. Sebaik apapun aplikasi ini dibuat untuk kemudahan berkomunikasi, tetap tidak bisa mengalahkan komunikasi dengan cara bertatap muka, terutama komunikasi yang dijalin melalui chat/teks. Semua jenis teks seperti apapun ia dibuat, tetap akan dibaca sesuai nada yang penerima teks. Jika mood si penerima lagi ga baik, kadang pembacaan dari teks tersebut juga ikut ga baik, meskipun maksud si pembuat ialah baik.

Saat ujian semester, semenjak adanya aplikasi itu tadi, kemudahan untuk menyontek semakin lebar. Sekali jepret foto lalu dimasukin ke grub kelas, dan jadilah. Semua anak sekelaspun bisa menjawab materi yang diujikan dengan sangat cepat berkat aplikasi ini. Bandingkan dengan jaman saya kuliah yang masih lempar-lemparan kertas dari satu anak ke anak yang lain, yang paling apes ya yang terakhir dapet. Hahaha. Ya, ini bukannya kelebihan ya, tapi kelemahan. Anak muda sekarang jadi lebih menikmati kemudahan sharing ini ketimbang belajar langsung. IPK pun sudah tidak bisa lagi jadi acuan, karena dengan sekali “send” semua siswa bisa menulis jawaban dengan tepat yang artinya nilai merekapun akan sama. IPK 3,50 sudah sangat mudah didapat, bukan dengan rasa bangga karena kerja keras belajar kita tapi dari hasil share di grub whatsapp tersebut.

Lalu, ketertarikan kita untuk berkomunikasi secara langsung menjadi semakin berkurang. Seperti saat kita dijalan, entah kereta, bus ataupun lainnya. Hampir semua orang selalu menunduk untuk menatap layar handphonenya, bukannya berbincang-bincang dengan yang sebangku atau yah begitulah. Masih bisa dimaklumi jika itu karena kita sedang sendirian. Kalau sedang berdua dengan teman? Itu yang saya maksud ketertarikan berkomunikasi langsung menjadi berkurang. Saya melihat ada saja orang yang lebih nempel dengan handphonenya ketimbang dengan teman disebelahnya. Pun sebaliknya. Yang saya khawatirkan ialah, saking ekstremnya kita jadi terlalu senang memandang layar ketimbang memandang manusianya langsung.

Kesimpulan yang saya ambil dari kemudahan ini ialah, semudah apapun komunikasi antar kabel yang kita dapat sekarang. Tetap tidak akan bisa menggantikan komunikasi antarmuka. Seperti kesalahpahaman tadi, itu akan terminimalisir secara otomatis jika kita berkomunikasi secara langsung. Mudahnya ialah kita bisa melihat ekspresi dan intonasi dari lawan bicara kita, pun jika kita tidak suka dengan kalimat yang dilontarkan kita bisa bertanya secara langsung dan tidak memendam amarah hingga akhirnya mengeluarkan keputusan yang fatal. Lalu, IPK bukanlah sesuatu yang membanggakan sekarang, kita harus menekankan pada diri sendiri dan lingkungan bahwa hasil dari usaha sendiri itu lebih memuaskan ketimbang hasil dari share jawaban di grub.

Kesalahpahaman

Ibarat kata jika kita punya masalah pada Gigi. Saat Gigi kita berlubang kalau masih kecil itu lebih mudah diperbaiki dengan langsung ditambal permanen. Gigi berlubang kalau masih kecil tapi dibiarin aja ya lama-kelamaan akan membesar dan tanpa disadari dia bakal keropos lalu hilang dengan meninggalkan rasa nyeri & sakit.

Sama halnya kayak masalah. Kalau masalah masih kecil dan bisa diperbaiki, ya disegerakan. Kalau masalah dibiarkan, ya lama-lama dia pasti membesar, dan parahnya bisa sampai memutus tali persaudaraan. Persaudaraan yang sudah terjalin apik jangan sampai terputus hanya karena masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan. Ingatlah masa-masa saat persaudaraan itu terjalin, coba dikomunikasikan lagi. Jangan-jangan itu hanya sekedar kesalahpahaman.

Wujud komunikasi via teks itu bisa disalah artikan tergantung mood yang baca teks. Beda halnya kalau komunikasi dilakukan secara tatap muka atau telinga ke telinga yang bisa kita ketahui mimik dan nada suara mereka. Kelemahan teks ya itu bisa memunculkan kesalahpahaman yang sebenarnya ga perlu. So, kalau ngerasa teks itu menyudutkan, ya ditanyain dulu (kalau kata Ustadz ya tabayyun dulu) maksudnya apa, jangan langsung ngejudge yang ga jelas. Karena keputusan yang diambil saat sedang marah itu bisa fatal.

No comments:

Post a Comment