A via ferrata is a climbing route that employs steel cables, rungs or ladders, fixed to the rock to which the climbers affix a harness with two leashes, which allows the climbers to secure themselves to the metal fixture and limit any fall.

Ya, begitulah via ferrata yang dijelaskan pada wikipedia, kabel baja, tangga baja yang tertanam di batu, dilengkapi dengan alat keselamatan yang menempel di tubuh kita agar terhindar dari bahaya saat melakukan kegiatan ini.


Dua kali saya mencoba aktivitas ini ditempat dan rute yang sama yakni di Gunung Parang dengan rute 300 meternya. Saya juga masih memakai agen yang sama yakni agen Badega Gunung Parang yang bisa ditemui via akun instagramnya disini. Pertama kalinya saya mencoba aktifitas via ferrata ini pada tahun 2016, tahun yang sama saat via ferrata ini baru buka di Indonesia. Ya benar, via ferrata gunung parang adalah via ferata satu-satunya yang ada di Indonesia dan bertepatan juga lokasinya ada di Purwakarta, kota tempat saya tinggal saat ini. Lalu kedua kalinya saya melakukan aktifitas ini lagi yakni kemarin pada tanggal 04 Oktober 2020, lumayan itung-itung refreshing pengalaman via ferrata saya yang sudah 4 tahun berselang juga.

Via Ferrata tahun 2016 (sebelum bb naik drastis seperti sekarang lol )

Kali ini saya berencana melakukan aktifitas ini bersamaan dengan kegiatan camping yang secara dadakan kami bicarakan dari H-2 sebelumnya. Apalagi saat rencana ini dibuat, bulan sedang benderang-benderangnya menyinari bumi saat malam datang. Sangat tepat rasanya untuk bercamping ria disaat bulan sedang purnama seperti ini. Rencananya begitu, tapi nyatanya pada hari H, rencana ini gagal total dan kami berangkat tanpa membawa tenda sama sekali dan berencana untuk tidur saja di saung yang telah disediakan oleh pemilik area Badega Gunung Parang dengan membayar beberapa rupiah ke si empunya area.


Kami disini adalah saya, Adrian, dan Teh Siti, kedua teman saya ini bukanlah teman yang sudah lama saya kenal melainkan teman yang baru pertama kalinya sama ketemui diperjalanan kesini serta teman yang baru dua kali saya temui juga semenjak awal februari tahun ini. Keduanya saya kenal melalui media online, satunya via twitter, satunya lagi via couchsurfing. Untuk perkenalan di twitter ini tidak perlu diceritakan lebih lanjut lah ya, karena simple banget cerita kita yang awalnya berniat kopdar doang tapi berubah haluan ke camping bareng (untungnya dia juga suka camping). Tapi untuk yang pertemuan dari couchsurfing ini next akan saya tulis karena ini berkaitan dengan pertama kalinya kami berdua mendatangi festival musik di Bandung! Iyap Playlist Love Festival Februari kemarin sebelum covid masuk ke negara tercinta ini.


Rencana semula sebenarnya juga hanya saya dan Adrian yang akan camping ini, tapi entah kenapa tiba-tiba saya mendapat ilham untuk mengajak Teh Siti saat sedang scrolling instagram saya bersamaan juga dengan saat saya sedang berkomunikasi dengan pihak Badega Gunung Parang via DM Instagramnya. DM saya ke Teh Siti berbuah manis dan untungnya doi belum ada agenda lain pada weekend itu. Untung memang kita ini anak-anak dadakan yang serba oke kalau diajak dadakan jalan. Beda sama orang Belanda misal yang harus janjian dulu barang beberapa bulan sebelumnya untuk sekedar kopi darat. Keburu lebaran kuda kalau kata orang Indonesia mah.


Setelah chat pada hari kamis malam atau H-2 itu selesai, kami tidak ada lagi chat-chatan setelahnya selain perubahan rencana dengan Adrian yang seharusnya ke kontrakan saya jumat malamnya namun saya gagalkan karena sudah terlalu malam (hehe maaf ya). Tapi memang setelah H-2 itu setiap harinya saya berpikir untuk sama-sama tidak repot dan langsung ketemu saja saat hari H-nya. Meskipun sayapun sadar kalau semua hanya berdasar dengan keputusan saya secara sepihak, dan cukup mengombang-ambingkan si Adrian ini.


Hari H tiba, Teh Siti yang awalnya berencana berangkat pukul 12 siang dari Bandung gagal berangkat karena masih ada urusan dikantornya. Rencana untuk berangkat kembali pukul 1 siang juga gagal kembali karena ybs ketinggalan shuttle dan harus menunggu hingga jam berikutnya yakni pukul 2 siang untuk bisa jalan ke Purwakarta. Saya yang sudah bersiap dari pukul 11 otomatis rebahan lagi sambil nonton youtube sampai bosan, tapi toh akhirnya pukul 15.30 Teh Siti datang dan gantian harus menunggu saya sebentar karena saya sedang di bengkel membenarkan lampu depan saya yang mati. Kami lalu pulang ke kontrakan saya dan menunggu Adrian yang baru pulang bekerja lembur dari kantornya sampai pukul 16.00.


Perkiraan saya, Adrian akan sampai di kontrakan saya pukul 17.00 dan kami bisa langsung meluncur ke BGP. Namun sampai Maghrib, Adrian tak juga datang, yang ada malah dia mampir ke Tokma dulu. Karena perbekalan kami belum siap juga kami akhirnya titip belanja beberapa makanan beku untuk nantinya kita masak bersama di lokasi camp, meskipun sampai kita pulang ternyata makanan beku ini tak juga keluar dari plastik berwarna kuning itu. Kami bertiga sudah cukup kenyang dari membeli makanan dari kantin BGP dan tidak berselera lagi untuk masak-masakan. Tidak sabar menunggu Adrian, kami lalu janjian saja bertemu di depan Tokma dan tanpa babibu lagi langsung menge-gas motor kami bertiga dengan mampir ke pom bensin terlebih dahulu dan Indomart setelahnya.

Masih Via Ferrata di tahun 2016, semua foto sudah hilang dan hanya ini yang tersisa (terselamatkan oleh arsip instagram).
Baru kali itu saya ke area BGP saat malam hari, sepanjang perjalanan dari memasuki pasar sukatani ke arah BGP sangat gelap dan saya sempat ketakutan karena masuk berkelok-kelok ke jalan yang penuh dengan pepohonan bambu dikanan dan kiri kami tanpa ada lampu dan pembatas jalan. Saya yang awalnya berada didepan merasa sangat aman saat akhirnya motor Adrian melewati saya dan memimpin kami didepan sana. Saat kondisi sudah tidak segelap sebelumnya dan sudah mulai memasuki perkampungan, Adrian lalu membiarkan kami berdua berada didepan lagi untuk mengarahkan jalan.

Syukurnya, jalanan ke arah BGP tidak seburuk sebelumnya dan sedang dalam perbaikan juga, jadi kami bisa lebih cepat sampai di lokasi tanpa harus mengerem sepeda motor kami tiap jarak 10 meter karena banyaknya polisi tidur yang dibuat warga sekitar sebelum aspal yang baru diguyurkan ke jalanan. Saya dan Teh Siti sempat beberapa kali terpukau juga saat melihat lampu yang berkelap-kelip di area waduk jatiluhur yang terlihat dari sisi kiri kami saat sudah mendekati area BGP. Sampai akhirnya kami harus berbelok ke kanan dan memasuki lokasi BGP tepat pada pukul 19.20an.


Untuk mencapai lokasi Badega Gunung Parang ini akan lebih mudah kalau kita punya kendaraan pribadi karena lokasinya yang jauh dari pusat kota. Dari Jakarta ke sini misalnya kalau menggunakan mobil pribadi bisa saja langsung masuk tol dan keluar di pintu keluar Jatiluhur lalu terus saja ke arah pasar sukatani belok kanan dan ikuti arahan google maps. Kalau misal tidak ada transportasi pribadi, pemberhentian terenak adalah dengan turun di Stasiun Purwakarta lalu dilanjut menyewa angkot atau mencari grab disana. Kalau misal barengan sama teman sih enak, bisa irit ongkos, kalau ga ya wassalam karena jarak dari Stasiun Purwakarta ke BGP bisa 1 jam lebih (naik motor +- 1.5 jam). Atau kalau mau naik bis, bisa turun di Terminal Purwakarta atau pintu keluar Jatiluhur juga, tapi ya harus sewa angkot/grab juga. Bisa sih misal naik kereta terus lanjut naik angkot sampai Pasar Sukatani lanjut naik ojek, tapi ya ojeknya sendiri bisa 50rb sampai 100rb-an karena jaraknya yang lumayan. Saya sih selalu memakai motor pribadi karena kebetulan tinggal di Purwakarta, kalau ada yang ingin tahu rutenya atau sarana transportasi ini bisa tinggalkan pertanyaan dikolom komentar, dengan senang hati akan saya bantu.


Sampai lokasi kami langsung check-in dengan bang Baban sang memilik BGP, memasukkan tas dan barang bawaan kami, lalu langsung ke area kantin atas karena kami saat itu sudah sangat kelaparan. Sayangnya sesampainya di kantin makanan sudah habis dan kami harus menunggu beberapa menit untuk dimasakkan oleh pemilik kantinnya. Kami diminta menunggu makanan yang sedang dimasaknya dan diarahkan untuk naik keatas bukit karena ada lokasi dimana kami bertiga bisa melihat lampu-lampu kota dan lampu-lampu karamba diatas perairan waduk jatiluhur dari sana. Itu pertama kalinya kami bertiga mulai bisa mencairkan suasana karena baru kali itu juga kami bertiga bisa duduk bersama dan mulai saling berbicara apa saja bersama. Memang rada awkward awalnya, karena memang pertemuan kami bertiga yang sangat mendadak dan sama-sama belum terlalu mengenal satu sama lain ini. Terutama dengan pertemuan yang dari twitter karena ini baru pertama kalinya kami kopdar dan setelah bersama di BGP ini saya bisa menyimpulkan kalau orang ini bukanlah tipe yang banyak bicara namun pendengar yang cukup baik, berbeda dengan yang saya bayangkan.


Setelah cukup menikmati pemandangan dari atas dan cukup juga hahahihi sana sini, perut yang keroncongan tak lagi bisa diajak kompromi, kami lalu turun ke kantin lagi dan mendapati makanan kami yang sudah siap untuk dihidangkan. Ada nasi hangat, ikan cobek, sambal, serta kerupuk, ikan yang disajikan sangat besar dan sambal serta bumbu cobeknya sangat enak sekali malam itu, bumbunya benar-benar kerasa nikmat. Kami cukup terkejut dengan rasa makanannya yang sangat enak ini dan tidak sabar untuk makan lagi esok harinya untuk merasakan rasa yang sama dengan makan malam malam ini.



Kami sebenarnya memilih saung yang lokasinya paling diatas karena saat malam kami akan bisa melihat city light-nya langsung dari terasnya. Pun saat pagi dengan mudahnya kami akan bisa melihat matahari terbit hanya dengan membuka pintu dan duduk di teras sang saung sambil menyesap teh hangat kami. Namun karena semua rencana kami yang serba dadakan dan serba berubah, jadinya kami terlalu telat untuk mendapatkan lokasi saung tadi dan hanya bisa berlapang dada mendapatkan saung di lokasi paling bawah yang berdekatan dengan lokasi camping serta parkiran. Lokasi camping sebenarnya ada 2, pertama di dekat parkiran ini dan yang kedua ada diatas tepat di atas tebing yang juga starting point via ferratanya, (lihat foto saya yang berdiri diatas batu diatas). Lokasi camping di bawah lebih tertata rapi dengan rumputnya yang dijaga dengan baik oleh si empunya lokasi. Sedangkan lokasi camping diatas lebih mirip wild camping karena lokasinya yang tepat di atas tebing tanpa adanya akses air maupun toilet.

Selesai makan kami lalu turun dan masuk ke saung kami untuk rebahan sambil bercerita dari A sampai Z. Rencana kami untuk mengeluarkan makanan beku kami sambil menikmati cahaya bulan gagal karena kami benar-benar masih merasa kenyang. Kami masih mengobrol sampai larut malam dan tertidur dengan pulasnya sampai pagi datang. Bangun tidur kami lalu naik ke atas lagi untuk menikmati matahari terbit dari lokasi kami duduk tadi malam. Saya yang tidak mau ketinggalan momen matahari terbit ini akhirnya hanya bisa berdiri di spot dibawah lokasi semalam karena sampai di atas kantin sedikit matahari sudah mulai keluar. 

Karena saya sudah kepayahan bernafas dan melihat ada lokasi lain tanpa harus naik lagi keatas (dan menurut perhitungan saya matahari terbit sudah pasti tidak terkejar), akhirnya saya berbelok saja ke lokasi sebelah saya tersebut. Selesai memotret keindahan sang matahari terbit, saya lalu turun ke saung lagi dan mencari Teh Siti yang berada entah dimana saat itu namun ternyata sedang turun dari atas bersama dengan Adrian. Saya sama sekali tidak melihat Teh Siti naik ke atas jadi cukup kaget saat melihat mereka berdua bisa turun bersamaan dari lokasi semalam.


Kami lalu bersiap-siap untuk melakukan Via Ferrata yang dijadwalkan untuk naik pada pukul 06.30 dengan meeting point di kantin atas. Sampai di kantin rombongan yang akan menaiki via ferrata ternyata tidak hanya kami bertiga, namun juga rombongan lain yang kesemuanya anak-anak kecil dari 3 keluarga dari Ciledug. Kami dipasangkan alat seperti karabiner dan pengaman lainnya untuk nantinya dikaitkan ke tali baja di sisi kiri kita nantinya atau ke tangga bajanya saat kegiatan via ferrata ini berlangsung.

Berbeda dari tahun 2016 lalu, sekarang ada tambahan alat yang harus kita kenakan saat melakukan kegiatan ini, alat itu ialah helm. Saya tidak tanya mengapa ada perbedaan ini, tapi memang dulu helm ini belum ada. Pun jalan untuk menuju ke starting point via ferratanya juga berbeda. Dulu kita harus melewati hutan dan menapaki tanah sampai ke starting point-nya, namun sekarang track tersebut ditiadakan dan diganti dengan track bambu yang mengular dari seberang kantin sampai di tebing starting point tadi. Saya yang sudah merasakan keduanya tentu bisa membedakan mana yang lebih baik dan saya rasa track yang sebelumnya tetaplah yang terbaik karena benar-benar terasa into the nature-nya terutama bagi yang suka dengan alam yang rindang.


Saya yang sekarang kepayahan karena lemak ditubuh yang bertambah banyak ini banyak melakukan break saat perjalanan ke arah starting point. Saya juga ditinggalkan oleh mereka berdua didepan sana, hiks, tapi sesekali Adrian menengok ke arah saya, mungkin memastikan apakah saya baik-baik saja. Saya juga tak begitu menyoalkan itu sebenarnya, karena saya juga asyik sendiri mengambil video ataupun foto disana-sini untuk saya jadikan rujukan ditulisan ini. Sampai di starting point kami semua dibiarkan beristirahat sebentar lalu di briefing oleh bang Baban dilanjutkan untuk naik ke via ferratanya. Saya yang sangat excited hari itu disuruh naik duluan oleh sang ranger dan sesampainya ditikungan pertama saya melihat kebawah dan mendapati kedua teman saya masih asyik didataran sana, ckckck. Saya kira mereka sudah naik dibelakang saya, nyatanya malah anak-anak kecil tadi yang dibelakang saya. Sayapun akhirnya menunggu mereka naik dan berubah menjadi orang terakhir yang berada di tangga via ferrata ini.


Didalam harness kita sudah dipasang dua tali kalamantel dengan dua karabiner diujung-ujungnya, fungsinya untuk dikaitkan satu per satu ke tali baja di sisi kita nantinya. Kadang juga kita harus mengaitkan satu karabiner ke tali baja dan satu karabiner lainnya lagi ke tangga yang paling jauh yang bisa kita rengkuh. Untuk tali baja sendiri ada jarak yang lumayan panjang sampai akhirnya kita harus melepas dan mengaitkan kembali karabiner kita. Sedangkan untuk yang dikaitkan ke tangga, mungkin sampai 2/3 tangga kita sudah harus melepas-kaitkan lagi agar tidak mengganggu langkah kita. Semua ini tergantung dari lokasi kita berjalan itu, kalau turun sih lebih baik taruh di sisi tali baja saja terus, karena akan memudahkan kaki kita agar tidak ke-srimpet oleh tali serta karabinernya. Untung melepas-kaitkan kembali ini harus satu per satu dan tidak boleh bersamaan, tentu agar kita tetap aman dan jika terjadi hal yang tidak diinginkan masih ada satu karabiner yang terkait di tali bajanya.


Ada satu anak kecil yang merasa ketakutan dan menjerit-jerit takut di rute via ferrata ini yang lucunya juga tidak mau turun karena penasaran dengan kegiatan ini juga. Kami sengaja mengambil jarak dengan rombongan tersebut dan asyik bercanda ria di atas tangga baja itu. Kami mendapatkan ranger bernama Acep yang sangat lihai mengambil foto kami dari sudut manapun. Dia juga membawakan air minum untuk kami jika kami kegerahan dan butuh air untuk mengaliri tenggorokan serta organ-organ tubuh kami didalam sana. Hingga sampailah kami di pos 1 yang berupa ceruk gua disisi kiri jalur dan kami dipersilahkan untuk mengademkan diri barang sebentar disana.


Beberapa menit setelah suara anak-anak kecil didepan kami tak terdengar, kami diminta melanjutkan perjalanan lagi dengan pertama-tama disuruh berpose menghadap ke arah sang ranger. Penuh kejutan juga si ranger ini karena ranger saya sebelumnya tak seinisiatif seperti si Acep ini. Kami lalu melanjutkan perjalanan dengan tetap saya dibawah dan Adrian diatas sementara Teh Siti ditengah. Saya sengaja menaruh Teh Siti di tengah karena Teh Siti lumayan takut akan ketinggian. Saya sebenarnya juga takut, tapi karena saya sudah pernah melakukan via ferrata serta pernah melakukan hammocking dipuncak tebing padalarang beberapa kali jadi ketakutan saya sudah lumayan berkurang dan sengaja berjaga-jaga jika Teh Siti kenapa-napa nantinya. Adrian yang sangat kalem dan nrimo juga iya-iya saja saat saya minta berada didepan. I think we made a good team on this short time because we understand each other without arguing, lol.


Ada satu tikungan dimana si Adrian yang ada didepan di stop oleh si Acep dan diarahkan untuk berpose dengan melepas kedua tangannya dari sang tali pengaman. Kami yang melihatnya dari bawah cukup geregetan karena menyangka hal itu sangat mudah untuk dilakukan namun pose yang dilakukan Adrian tak juga sempurna yang seharusnya lurus ke belakang malah agak membungkuk. Ternyata saat saya ikut mencoba dan diarahkan oleh si Acep, pose itu memang sangat menakutkan dan yang terlihat sangat mudah tadi kenyataannya sangat sulit untuk dilakukan. Brooo, melepas kedua tangan dan hanya bertopang pada kedua karabiner yang dikaitkan ke tangga baja tak semudah itu brooo, apalagi kita di sudut hampir 90 derajat dan jauh dibawah kita itu bebatuan dan pepohonan serta sawah dan rumah-rumah warga sekitar, fiuh. Kita yang mengira si Adrian cemen ternyata juga ikutan cemen karena belum tahu lokasi yang diinjak Adrian tadi seperti apa. Memang ya, jangan berkomentar sebelum tahu realitanya seperti apa, hahaha.


Beberapa menit naik berkelok-kelok ke atas lagi, kami akhirnya sampai di pos 2 dan bisa sejenak melepas karabiner kami dari besi baja dan duduk dibawah satu pohon yang lumayan rindang. Disana si Acep bercerita kalau beberapa waktu lalu dia sempat bertemu rombongan dari agen via ferrata lain yang kebetulan juga memakan baju dengan warna yang sama dengannya. Disini juga kami baru tahu kalau Acep yang terlihat sangat muda ini ternyata berusia yang sama dengan si Adrian dan kebetulan juga lahir di bulan yang sama. Teh Siti juga sudah mulai kehilangan semangatnya disini, mungkin rasa takutnya sudah amat memuncak dan dia terlihat menenangkan dirinya disana. Acep juga sempat bercerita kalau dia pernah membawa pasangan turis yang sang perempuannya sampai memaki-maki sang pacar saking takutnya, tapi sang pacar tetap saja tenang dan sabar menanggapinya. Saya sih bercanda saja, bisa jadi turun dari Gunung Parang pasangan ini putus karena tahu tabiat asli sang pasangan bagaimana lol.



Tapi memang benar sih, cara paling mudah untuk tahu perilaku asli pasangan adalah dengan hidup bersama (kalau versi orang luarnya) atau dengan berlibur bersama ke suatu tempat versi Indonesianya. Dalam perjalanan tersebut akan ada kejutan-kejutan yang mau tidak mau harus dipecahkan bersama, dari sana nanti juga kita bisa melihat apakah pasangan kita ini memiliki cara pemecahan masalah yang sama dengan kita, orang yang banyak inisiatif, atau malah hanya manja dan menyerahkan semuanya ke salah satu pasangannya saja. Ngambek, marah, atau chill dan dibawa fun saja saat mendapati kejutan-kejutan itu juga bisa terjadi. Jadi ajaklah pasanganmu berlibur bersama (kalau versi saya sih yang adventurous ya) kalau mau tahu sisi pasanganmu yang sebenarnya seperti apa, biar tidak kaget kalau sudah memasuki jenjang yang lebih tinggi maksudnya.

Setelah pos 2 ini, jalur akan mendatar sampai akhirnya kita harus turun kebawah. Jalur datar ini sangat mudah dibanding saat naik ataupun turun. Turun terutama sih, karena saat turun ini kita benar-benar harus hati-hati saat memijak tangga kebawah. Saya yang ketakutan dan sudah tidak bisa lagi diajak bercanda hanya diam dan mau secepatnya sampai dibawah saja. Namun kalau terlalu grusa-grusu juga akhirnya tidak baik karena bisa jadi malah kita terpeleset atau sebagainya, saya hampir salah menginjak satu tangganya dan dada saya bergetar hebat saking ndredegnya.

Teh Siti yang ada diatas saya juga hanya diam karena memang rute turun ini benar-benar sangat mengintimidasi. Selain karena kami sudah kecapekan dan kepanasan, kami juga sudah ingin segera sampai dibawah sampai-sampai kami tidak menghiraukan Adrian yang ada di belakang kami. Beberapa meter kebawah si Acep, ranger idola kami ini, berdiri diatas saya atau berdiri diantara aku dan Teh Siti. Masih dengan mengajak kami bercanda namun tak kami tanggapi, si Acep dengan sigapnya membantu melepas-centel-kan karabiner kami berdua bergantian saat kami agak kepayahan. Saya cukup senang mendapatkan Acep sebagai ranger kami dan selalu membantu kami saat kami sudah amat kepayahan.

Tak lagi terlihat si Adrian, kami bertiga tetap turun ke bawah dengan agak ngebut karena kaki kami sudah gemetaran serta tangan sudah sangat kaku karena harus memegang tangga baja yang amat panas oleh sengatan matahari. Sesekali kami melihat keatas dan melihat Adrian bersama rombongan anak kecil yang kami lewati tadi, syukurlah dia tidak sendirian bathin kami. Sesampainya didataran, saya langsung teriak kegirangan begitu juga dengan Teh Siti. Kaki kami teramat kaku saat diatas tanah ini dan kami yang awalnya berencana untuk lari ke arah kantin otomatis menggagalkan rencana itu karena kaki kami sangat tegang bahkan untuk diajak berjalan pelanpun. Rute ke kantin yang menurun ternyata tak semudah itu juga dilalui dan membuat kami berhenti setiap beberapa langkah untuk sedikit beristirahat dan melemaskan kaki kami.


Sampai di Kantin saya sangat shock dengan banyaknya orang disana. Ada rombongan pesepeda yang berdempetan duduk disana-sini kursi. Saya yang baru kali itu di keramaian semenjak virus korona mampir di Indonesia cukup takut dan memilih lokasi yang agak kedalam menghindar dari mereka semua. Saya sangat takut jika ada dari kami yang membawa virus ini dan agak ngilu juga membayangkannya. Memang di Purwakarta-pun sudah banyak orang-orang yang tidak peduli dengan virus ini yang bahkan pada asyiknya berkumpul di kafe-kafe atau lokasi lainnya tanpa mengindahkan prosedur jaga jarak atau lain-lainnya. Namun baru kali ini saya ikut masuk di lokasi dengan banyaknya rombongan orang tersebut dan cukup khawatir dengan yang akan terjadi setelah keluar dari lokasi ini.


Saya dan Teh Siti duduk rada masuk ke dalam dan menjauh dari keramaian itu sambil menunggu Adrian yang masih diantah berantah. Kami lalu menyesap es teh yang telah kami pesan dan merasakan kesejukan ditengah kekhawatiran yang membuncam dihati kami masing-masing. Adrian lalu datang bersamaan dengan rombongan anak-anak kecil beserta ranger andalan kami Acep. Kami meminta mereka untuk meminum es teh yang telah kami belikan lalu beristirahat sebentar sampai nantinya para rombongan pesepeda ini pergi dan kami keluar dari saung dan duduk di kantin yang sepi kembali.


Teh Siti telah memesan makanan untuk kami makan siang itu, saat itu sudah lebih dari jam 11 siang dan praktis kami kelaparan setelah menanjaki ribuan tangga baja setinggi 300 meter itu. Panas, lelah, lapar bercampur menjadi satu hingga akhirnya disajikanlah makanan yang kami pesan diatas meja di kantin yang telah sepi oleh para rombongan pesepeda tadi. Hanya ada kami bertiga, sepasang couple (orang Indonesia dan UK) yang akan panjat tebing disana, serta pemilik kantin. Akhirnya kami semua bisa makan siang dengan lega tanpa kekhawatiran lagi seperti sebelumnya.


Ada Nasi hangat, sambal, ayam goreng, tahu, tempe, teri goreng, lalapan, serta kerupuk, dan teh hangat disediakan diatas meja kami, khas makanan sunda. Kami yang kelaparan langsung menciduk nasi serta lauk pauk kami ini dan menikmati makanan tanpa banyak bicara lagi. Sayangnya bukan es teh manis yang disajikan melainkan teh tawar hangat yang diberikan kepada kami ditengah panas matahari pada pukul 11.30 ini, nikmat makan siang kami rada berkurang dibanding jika yang disajikan secara gratis ke kami ini adalah es teh manis, tapi memang es teh manis lebih mahal sih, tak mungkin disajikan secara gratis juga. Kami sempat bergumam kalau sambal yang dihidangkan siang itu tak seenak sambal tadi malam, mungkin karena beda yang masak karena tadi malam yang masak bapak-bapak sedang siangnya ibu-ibu. Tapi karena kami kelaparan ya kami hajar saja sampai hampir semua makanannya habis.


Kami lalu turun ke saung dan rebahan lagi dengan si Adrian yang tertidur pulas dikasurnya sementara saya dan Teh Siti hanya rebahan sambil berbicara sana-sini. Rencananya saya ingin mengajak mereka berdua motoran di area Plered ini karena saya lihat ada spot-spot cantik yang akan mengagumkan saat dipandang oleh mata kami. Namun apalah daya, kami teramat capek dan memilih untuk rebahan saja sampai akhirnya kami pulang ke Purwakarta kembali nantinya.



Oh ya, semalam saat saya tidur saya mendengar suara-suara diatas saya, saya langsung mengetok saja saung kami dan suara itu hilang. Ternyata suara tersebut adalah suara tikus yang sedang asyiknya menggerogoti tas dan earphone Teh Siti yang diletakkan disebelah kasur saya. Anehnya, tas saya dan Adrian yang kami letakkan di sudut lain saung tidak tersentuh oleh sang tikus sama sekali. Tidak hanya tas dan earphone, kasur busa yang tidak terpakai di satu sudut yang sama dengan tas Teh Siti juga digerogoti oleh sang tikus sampai kapuknya keluar-keluar. Oh god! Kita sama sekali tidak kepikiran akan didatangi oleh tikus seperti ini saat merencanakan perjalanan ini.

Tepat pukul 14.30 kami lalu berjalan pulang ke arah Purwakarta. Adrian tiba-tiba mengambil jalan didepan dan hampir salah belok di salah satu jalan. Lagi, karena Adrian jalan didepan kami, kami yang seharusnya berbelok ke arah pasar sukatani malah melihat Adrian lurus saja ke jalan satunya yang lebih jauh dan harus memutar. Saya sempat mengejarnya dan mengklakson berkali-kali namun Adrian tidak mendengar dan motornya sudah tidak terlihat lagi. Karena mengejar jam suttle, kami berdua memilih untuk berputar dan mengambil jalan yang seharusnya kami lewati tadi dan meminta Teh Siti untuk mengechat Adrian.

Karena saya harus mengejar jadwal shuttle Teh Siti, saya akhirnya hanya mengebut saja ke arah Giant sampai tepat pukul 15.42 sampailah saya disana. Dan karena Teh Siti langsung masuk ke lokasi shuttle, saya otomatis langsung pulang ke kontrakan tanpa melihat HP lagi yang ternyata beberapa detik setelahnya Adrian juga sudah sampai di Giant dan tidak sempat saling bertemu kembali, telisipan lah. Pukul 16.00 saya baru membuka HP saya dan kaget melihat chat dari Adrian yang mencari kami berdua di Pasar Sukatani pun di Giant. Padahal saat di Pasar Sukatani tadi kami berdua sempat berhenti untuk membeli colenak, sempat juga keliru melihat orang lain sebagai Adrian karena mengemudikan motor dan helm berwarna sama dengannya.

Saya juga jadi merasa bersalah karena tidak mengecek HP saya saat di Giant dan langsung pulang begitu saja, rasanya aneh sekali pulang tanpa pamitan kan. Saya bertekat suatu saat harus bertemu dengan Adrian lagi untuk kopdar dan berpamitan dengan benar, apalagi kami tinggal di kota yang sama dan tempat kerja kamipun sebelah-sebelahan, lol. Rasanya masih menggantung sekali perjalanan pulang kami kemarin itu yang tanpa mengucapkan kalimat selamat jalan dan hati-hati dengan layak dan seharusnya. Salah diawal juga karena tidak menyebutkan lokasi untuk berkumpul lagi sebelum pulang ke rumah masing-masing. Kedepan memang semuanya harus dikomunikasikan dahulu sebelum akhirnya jalan masing-masing.

Setelah perjalanan ini-pun, saya dan Teh Siti juga berencana untuk nantinya mengunjungi Namibia dan melakukan perjalanan roadtrip barang beberapa hari disana. Ya tidak secepatnya sih, paling cepat mungkin 3 tahun lagi karena kami berdua harus menabung dulu untuk bisa membeli tiket dan lain-lainnya. Saya benar-benar tidak sabar untuk bisa berjalan bersama Teh Siti lagi ke Namibia ini karena memang negara ini sudah menjadi bucket list saya sejak 2016 lalu. Semoga rencana ini bisa terlaksana sesuai dengan yang kami berdua inginkan, kalau bisa nambah 2 orang lagi juga lebih bagus karena bisa lebih irit ongkos lagi haha.

Sebelumnya saat saya ke Via Ferrata ini di tahun 2016, saya tidak ada masalah dengan tangan saya karena saat menanjak waktu itu tangganya tidak begitu panas. Namun setelah kedua kalinya menaiki via ferrata ini, memakai sarung tangan itu benar-benar sebuah kewajiban karena memang cuaca saat diatas tidak bisa diprediksi. Tangga yang sangat panas membuat tangan saya kesakitan dan sampai beberapa hari setelah selesai kegiatan ini tangan saya masih juga sakit. Selain itu juga meminimalisir gesekan dengan batu karena kalau kesrempet sedikit saja bisa terluka. Jari-jari saya sempat tergores beberapa kali dan lumaya perih lukanya, salah saya memang tidak memakai sarung tangan kemarin itu. Jadi, saran saya jika nanti ada yang tertarik untuk menaiki Via Ferrata ini pastikan untuk memakai sunblock dan memakai sarung tangan untuk meminimalisir kejadian seperti saya kemarin. Jangan lupa juga memakai topi dan kacamata karena diatas sangat terik dan panas, lumayan bisa membantu sedikit alat ini.

Biaya:

Via Ferrata 300 Mtr    600.000

Makan Malam              75.000

Makan Siang                75.000

Es dan Aqua                40.000

Saung                        200.000

Total                          990.000

Per @                        330.000


Tulisan selesai dibuat pada 13 Oktober 2020


No comments:

Post a Comment