Source picture: Google.
Baru saja saya membaca di Twitter mengenai kesetiaan seorang suami kepada istrinya yang setelah 10 tahun menikah baru bisa hamil. Yang membuat saya gerah adalah pujian yang diberikan kepada sang suami karena “telah setia” mendampingi sang istri yang tak kunjung hamil di 10 tahun pernikahannya. Seakan sang istri yang tak kunjung hamil itu dosa besar sampai suami yang tidak poligami atau selingkuh seperti lelaki-lelaki lainnya (dasar tulisan dari komentar salah satu orang) merupakan hal yang luar biasa.

Beberapa waktu lalu, saya sempat bertemu dengan teman dilokasi jual-beli apartemen daerah Cikarang (Tahun 2017). Bersama temannya teman saya (panggil saja X), kami bertiga mencari makan malam didaerah Cikarang dengan menaiki mobil. Setelah makan selesai kami langsung naik mobil kembali kearah perumahan kantor saya yang saat itu sekalian saya tengok. Nah, pada waktu inilah saya merasa janggal dengan posisi X yang selalu asyik video call-an dengan seorang wanita disepanjang perjalanan kami. Tidak ada yang salah jika orang-orang melihatnya dari sisi sebelum tahu bahwa si X ini adalah suami orang, pun sebelum tahu kalau yang di video call bukan merupakan istrinya sendiri melainkan selingkuhnya. Tapi saya yang saat itu tahu bahwa X ini telah beristri  (serta sedang mengandung anaknya) sedang ber video call-an dengan wanita lain dengan mesranya itu merasa aneh dan gerah.
Lalu saya dan teman berpisah dengan si X tersebut, saya sampaikan saja kegerahan saya kepada teman tentang aksi si X. Namun teman saya (pria) ini bukannya ikut gerah malah membenarkan aksi si X. Katanya hal itu wajar karena si X hidup berjauhan dengan sang istri, terlebih sang istri tidak mau diajak ke Jakarta dan memilih tinggal dikampungnya daripada mendampingi suaminya, yang tentu saja membuat saya berang. Sang istri saat itu sedang hamil besar lho, bisa-bisanya sang suami main mata dengan wanita lain dan diwajarkan oleh teman dan keluarga besarnya? Totally doesn’t makes any sense to me. Iya keluarga si X juga ikut membenarkan dan malahan mendukung si X untuk main mata dengan wanita lain ini. Informasi yang saya dapat dari teman saya, keluarganya meyakini bahwa si X bermain mata dengan wanita lain itu tidak berdosa atau tidak salah, malahan didukung dengan dalih karena "salah sang istri" yang tidak mau mendampinginya di Jakarta. Like what?
Pikiran macam apa yang mewajarkan perselingkuhan dengan dalih seperti itu? Itu salah. Apapun alasannya, tidak boleh berselingkuh saat sudah didalam ikatan dengan orang lain, apalagi pernikahan. Pernikahan bukanlah hal yang bisa dipermainkan begitu saja oleh siapapun. Pernikahan itu suci, untuk masuk ke dunia pernikahan kita sudah harus paham bahwa diri kita mengikat satu sama lain dengan pasangan kita. Kesetiaan adalah hal utama yang menjadi pondasi pernikahan, dan itu mutlak. Jika dalam persiapan pernikahan kesetiaan dirasa belum muncul, janganlah dipaksa karena akhirnya bisa saja kita menjadi si X itu tadi dan itu sangatlah salah. Tidak hanya kesetiaan, komunikasi juga sangatlah penting didalam pernikahan, pun pengertian atau saling memahami satu sama lain. Jika hal yang dipermasalahkan dalam kasus diatas adalah karena sang istri tidak mau menemani sang suami (karena sedang hamil besar), maka mereka harus mengomunikasikan itu, bukannya membiarkan dan mencari jalan lain dengan berselingkuh.
Mewajarkan sikap tidak setia karena hal belum bisa hamil, belum bisa menemani sang suami, atau belum bisa lain-lainnya merupakan hal sang sangat salah dalam pandangan pernikahan. Saat kita berkomitmen untuk menikah, maka hal-hal seperti diatas harus sudah dimengerti bahwa nantinya akan ada banyak kemungkinan-kemungkinan yang timbul yang mengharuskan kita bersikap seperti apa terhadap pasangan kita, dukungan terutama. Suami maupun istri harus paham bahwa pada akhirnya komitmen awal saat ikrar pernikahan dilayangkan adalah saat dimana kita memahami bahwa suami dan istri harus siap untuk: mengurusi pasangannya saat sakit, menemani pasangannya bertumbuh, hidup bersama, menua bersama, yang artinya kesetiaan dan komunikasi ialah hal yang tidak bisa dipisahkan lagi pada tahap ini. Suka duka ditanggung bersama singkatnya, tidak hanya sukanya saja.

Totally agree with her, begitu juga wanita ya. Screen-capture sudah mendapatkan ijin dari pemilik.
Pernikahan tidak hanya diputuskan hanya karena sudah lelah dengan pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang sekitar, atau hanya karena sudah terlalu lama pacaran. Pernikahan juga tidak seharusnya diputuskan karena ketidak-enakan dengan orang tua yang terus memaksa kita untuk segera menikah. Menikah seharusnya keluar dari niatan kita sendiri, dari kesiapan kita sendiri agar nantinya kita tidak menjadi orang-orang yang mewajarkan hal yang salah hanya karena salah satu pasangan tidak bisa melakukan satu hal dari banyak hal yang terlibat didalam pernikahan itu.


komitmen/ko·mit·men/ n perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu;
kesetiaan/ke·se·ti·a·an/ n keteguhan hati; ketaatan (dalam persahabatan, perhambaan, dan sebagainya); 

Dalam kasus awal yang semula saya bicarakan tadi, kesetiaan sang pasangan memanglah hal yang sewajarnya dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai. Bukan sesuatu yang wah sebenarnya, karena artinya sang pasangan tersebut sudah benar-benar paham tentang arti pernikahan yang sesungguhnya. 10 tahun di uji oleh kehamilan yang tidak juga datang dan mampu menjalaninya berdua dengan saling menopang membuktikan bahwa keduanya saling mencintai sebegitu dalamnya. Karena itulah arti cinta yang sesungguhnya kan? Saling menopang. Dan perlu diingat, hamil atau tidaknya sang istri itu bukan hanya usaha sang istrinya saja, tapi juga sang suami. Keduanya saling berhubungan, jadi tidak elok rasanya hanya membebankan hal itu ke satu orang saja.
Seyogyanya kita semua paham bahwa dasar dari pernikahan itu adalah cinta dan komitmen, bukan karena ingin berlomba dengan orang lain maupun kelelahan akan pertanyan “kapan nikah” yang diujarkan orang lain ke diri kita. Pernikahan bukanlah hal yang main-main, apalagi setelah ikrar pernikahan terlontar karena pada saat itu juga hidup kita akan selalu beriringan dengan pasangan kita. Dua pikiran yang disatukan oleh pernikahan, dua manusia yang harus memulai hidup baru dengan saling menggabungkan dua pemikiran didalamnya. Bukannya satu orang harus membuang kehidupannya untuk mengabdi ke pasangan yang lain, itu namanya bukan lagi pernikahan tapi perbudakan.
Sebelum memutuskan untuk menikah, sebaiknya kita harus mengenal pasangan kita lebih dalam dahulu. Apakah pemikiran dan visi misinya sama dengan kita, apakah ada hal-hal yang membuat kita bahagia saat bersamanya, dan lain-lainnya. Jika tidak maka untuk apa diteruskan kan? Kita juga punya pilihan untuk membuat Perjanjian Pra Nikah, disana nanti secara gamblang akan dibuat hak dan kewajiban masing-masing pasangan, pun kita diperkenankan untuk memperlihatkan nilai pemasukan kita, hutang kita, dan lain-lainnya agar hal keuangan diantara pasangan nantinya tidak ada yang tersembunyikan.

Banyak orang yang menilai orang lain terlalu pemilih karena belum menikah juga pada usia tertentu. Padahal memang untuk menemukan pasangan diperlukan untuk “memilih” apalagi usia pernikahan itu selamanya. Sama halnya dengan memilih teman, kalau kita tidak bisa nyambung mana mungkin kita bisa berteman dengan orang tersebut kan, apalagi pernikahan. Dan kita perlu memahami juga bahwa setelah pernikahan masih ada kehidupan lain yang harus kita lalui, pernikahan bukanlah akhir dari segala permasalahan.

Saya menulis ini karena merasa banyak sekali pewajaran yang tidak layak yang diagung-agungkan oleh orang-orang disekitar kita saat ini. Seperti saat sang suami selingkuh, yang disalahkan bukannya sang suami yang telah menyeleweng tapi malah sang istri yang dibilang tidak merawat diri atau tidak memuaskan sang suami, "Ya wajar suaminya selingkuh, wong istrinya aja kek gitu," misalnya. Seakan-akan apapun yang suami lakukan itu benar, dan hanya sang istri-lah yang salah. Juga lingkungan yang selalu memburu-burui anak-anak untuk segera menikah diumur muda lalu memiliki anak setelahnya, seakan pernikahan dan memiliki anak adalah goal semua orang.

Pernikahan itu bukanlah pilihan semua orang, pun memiliki anak. Setiap orang berhak atas pilihannya masing-masing, dan kita tidak berhak untuk menghakimi ataupun memburu-burui. Yang patut kita hakimi adalah mereka yang dengan entengnya mempermainkan pernikahan dan mewajarkan hal yang tidak benar, padahal mereka sendiri sebenarnya paham bahwa hal itu tidak benar tapi toh tetap menjalankannya tanpa merasa bersalah.

Kalau menurut kamu, apa sih pernikahan itu? Apa pula kesetiaan itu?

No comments:

Post a Comment